Lompat ke isi

Suku Polahi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Polahi adalah kelompok etnis terasing yang mendiami hutan pedalaman Gorontalo.[1] Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Polahi adalah masyarakat pelarian zaman dahulu yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh Belanda[2] sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini.

Suku ini mengasingkan diri sekitar abad ke-17 dan kini hidup di pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman, dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.[3]

Asal muasal

Konon menurut cerita masyarakat setempat, orang Polahi adalah pelarian pada zaman penjajahan Belanda. Dalam bahasa Gorontalo, Polahi berasal dari kata lahi-lahi yang artinya "pelarian" atau "sedang dalam pelarian". Polahi adalah pelarian pada masa penjajahan Belanda yang takut atau tidak mau membayar pajak, yang kemudian tinggal di pedalaman hutan, salah satunya di lereng Gunung Boliyohuto di desa Tamaila Utara, kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo.[2][4]

Hal ini menjadikan orang Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, sebagian keturunan Polahi masih tetap bertahan tinggal di hutan. Sikap anti penjajah tersebut masih terbawa terus secara turun-temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap sebagai penindas dan penjajah.[1]

Kehidupan sosial

Hidup dalam keterasingan selama berada di pedalaman hutan membuat orang Polahi tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan, dan agama. Keturunan Polahi menjadi warga masyarakat yang sangat termarjinalkan dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Polahi juga tidak mengenal ilmu baca tulis serta masih menganut suatu kepercayaan lokal.[1]

Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah dialek Polahi dalam bahasa Gorontalo. Suku Polahi hidup dari bercocok tanam ala kadarnya dan berburu binatang seperti babi hutan, rusa, serta ular sanca. Suku Polahi juga belum mengenal pakaian seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, hanya memakai penutup kemaluan dari daun palma dan kulit kayu. Rumah suku Polahi sangat sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, dan juga berfungsi untuk penghangat badan. Suku Polahi juga tidak bersekolah dan menikmati fasilitas kesehatan modern. Untuk menuju ke tempat suku Polahi, diperlukan waktu sekitar 7 jam dengan berjalan kaki menaiki gunung dari pusat Kota Gorontalo.[1]

Orang Polahi sangat terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak mempunyai pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan suku Polahi tidak mengenal hitung-menghitung dan tidak mengenal nama hari dalam kalender. Beberapa peneliti berhasil menemui orang polahi ketika mereka turun dari atas gunung. Angka maksimum yang dapat dihitung adalah empat. Selebihnya adalah 'banyak'. Sebelumnya, orang Polahi hanya mengenal dua angka bilangan saja, yakni satu hingga empat dan 'banyak'.

Kepercayaan

Orang Polahi hidup dalam kelompok-kelompok kecil di pedalaman hutan Gorontalo, mereka mengenal tiga Tuhan dalam kepercayaannya. Ketiga tuhan ini adalah Pulohuta, Lati, dan Lausala.[5]

Pulohuta

Pulohuta digambarkan sebagai sosok yang hidup serta memiliki kuasa atas tanah. Konsepnya berasal dari nenek moyang. Pulohuta adalah sepasang suami istri. Bila masyarakat Polahi hendak membuka lahan di hutan, maka mereka akan meminta izin dahulu kepada Pulohuta.[5] Selain memegang kuasa atas tanah, Pulohuta juga memegang kuasa atas hewan di hutan. Bentuk penghormatan orang Polahi kepada Pulohuta adalah jika mereka mendapat hewan buruan, bagian tertentu dari tubuh hewan itu diiris seperti telinga, mulut, dan lidah, kemudian ditaruh di tunggul kayu untuk dipersembahkan kepada Pulohuta.

Lati

Lati digambarkan sebagai sosok makhluk hidup yang menghuni pohon-pohon besar serta di air terjun. Ukuran tubuhnya digambarkan kecil-kecil seukuran boneka dalam jumlah banyak. Lati merupakan pemegang kuasa atas pohon. Bila Polahi ingin menebang pohon besar atau mengambil madu lebah hutan yang terdapat di atasnya, Polahi membakar kemenyan, merapal mantera dengan tujuan menyuruh Lati pindah ke pohon lain.[5]

Lausala

Lausala dalam narasi Polahi layaknya tokoh marvel (manusia super). Tokoh antagonis yang digambarkan sebagai sosok yang haus minum darah. Lausala ternyata bukan hanya dideskripsikan sebagai tokoh laki-laki, sebab ada juga perempuan tua yang disebut-sebut sebagai Lausala. Masyarakat Polahi membuat beberapa gambaran untuk meyakinkan bahwa Lausala itu benar-benar ada. Orang Polahi meyakini Lausala memiliki mata merah, membawa pedang yang menyala dan ia bisa pindah dengan cepat dari balik bukit ke bukit yang lain. Menurut orang polahi, jika ada anjing menggonggong itu salah satu pertanda hadirnya Lausala.[5]

Perkawinan sedarah

Masyarakat suku Polahi hidup secara nomaden. Mereka tinggal dalam gubuk-gubuk kayu sederhana supaya mudah untuk ditinggalkan.[6] Ketika ada anggota keluarga suku polahi yang meninggal dunia, maka akan dikuburkan di tempat itu, kemudian mereka akan meninggalkan tempat itu. Suku Polahi pindah untuk mencari lokasi baru lagi dengan membawa peralatan masak, pakaian, piring, gelas, dan alat lain yang bisa dipakai.

Rasa takut yang mendalam terhadap jenazah menjadi penyebab masyarakat Polahi untuk meninggalkan rumah mereka.[6] Suku Polahi sering berpindah-pindah tempat, lalu membangun gubuk-gubuk baru. Dengan pola hidup demikian, masyarakat Polahi hanya saling berkomunikasi dengan kelompoknya. Hal tersebut kemudian yang melahirkan tradisi pernikahan sedarah atau antar saudara.[6]

Kawin dengan saudara kandung sudah menjadi hal yang biasa dalam suku Polahi. Sebagai contoh, sesepuh pada salah satu kelompok Polahi yaitu "Kelompok 9" merupakan seorang kakek dengan tiga bersaudara, dua saudara lain adalah perempuan. Kakek itu mengawini kedua saudara kandungnya ini sekaligus. Istri yang satu tak mempunyai anak, sedangkan satu lagi mempunyai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Kemudian anaknya mengawini anaknya lagi, sehingga anaknya juga menjadi menantunya. Meski hidup mengasingkan diri dan memiliki tradisi berbeda dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat Polahi terbilang terbuka dengan masyarakat di luar lingkupnya.[7]

Budaya

Konsumsi masyarakat

Masyarakat suku Polahi memiliki kebiasaan unik, diantaranya masyarakat Polahi yang hanya makan satu kali dalam sehari. Orang Polahi hanya makan sekali yaitu pada waktu sore hari saat pukul 5 sore saat menjelang salat Magrib dalam kepercayaan umat Muslim. Mereka mengonsumsi umbi-umbian yang mereka tanam sendiri dan tidak terbiasa mengonsumsi nasi seperti masyarakat umumnya. Mereka hanya bercocok tanam dengan menanam umbi-umbian, pepaya, dan pisang.[6]

Referensi

  1. ^ a b c d Satriawan, Iwan. "Kisah Suku Polahi dan Cerita Mistis yang Melingkupinya". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-09-22. 
  2. ^ a b Ibrahim, Arfandi (2019-08-28). Apriyono, Ahmad; Ige, Edhie Prayitno, ed. "Mengenal Suku Polahi, Komunitas Adat yang Masih Langgengkan Kawin Sedarah". Liputan6.com. Diakses tanggal 2020-09-21. 
  3. ^ Solihin, ANTARA FOTO/Adiwinata. "Mengenal Kehidupan Suku Pedalaman Polahi di Gorontalo". detikcom. Diakses tanggal 2020-09-21. 
  4. ^ Sabtu; Mei 2020, 23 Mei 2020 12:00 WIB 23; Wib, 12:00 (2020-05-23). "Mengenal Suku Polahi yang Hidup Terasing di Pedalam Hutan Gorontalo". indozone.id. Diakses tanggal 2020-09-22. 
  5. ^ a b c d Azhar, Rosyid A. Assifa, Farid, ed. "Terungkap, Suku Polahi di Hutan Gorontalo Mengenal Tiga Tuhan". Kompas.com. Diakses tanggal 2020-09-22. 
  6. ^ a b c d A39yuni, Nesia Qurrota. "Kisah Masyarakat Polahi di Gorontalo yang Punya Tradisi Nikah Sedarah". Kumparan. Diakses tanggal 2020-09-22. 
  7. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-20. Diakses tanggal 2010-05-24.