Lompat ke isi

Peternakan

Ini adalah artikel bagus. Klik untuk informasi lebih lanjut.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peternakan intensif ayam potong, Amerika Serikat
Domba sedang digembalakan di padang rumput, Yunani

Peternakan adalah kegiatan mengembangbiakkan dan pemeliharaan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari kegiatan tersebut. Hewan yang banyak diternakkan di antaranya sapi, ayam. kambing, domba, dan babi. Hasil peternakan di antaranya daging, susu, telur, dan bahan pakaian (seperti wol). Selain itu, kotoran hewan dapat menyuburkan tanah dan tenaga hewan dapat digunakan sebagai sarana transportasi dan untuk membajak tanah.

Hal-hal yang termasuk kegiatan beternak di antaranya pemberian makanan, pemuliaan atau pengembangbiakan untuk mencari sifat-sifat unggul, pemeliharaan, penjagaan kesahatan dan pemanfaatan hasil. Peternakan dapat dibedakan menjadi peternakan ekstensif atau intensif, dan terdapat juga peternakan semi intensif yang menggabungkan keduanya. Dalam peternakan ekstensif, hewan dibiarkan berkeliaran dan mencari makan sendiri, kadang di lahan yang luas, dan kadang dengan pengawasan agar tidak dimangsa. Dalam peternakan intensif, terutama peternakan pabrik yang umum di negara-negara maju, hewan dikandangkan dalam gedung berkepadatan tinggi, makanannya dibawa dari luar, dan hidupnya diatur agar memiliki produksi dan efisiensi tinggi.

Peternakan dimulai sejak terjadinya domestikasi hewan (budi daya hewan agar dapat dipelihara dan dimanfaatkan manusia) dalam proses yang dimulai sekitar tahun 13.000 SM. Berbagai jenis hewan mulai didomestikasi pada saat dan tempat yang berbeda-beda dalam sejarah. Selain hewan ternak yang telah disebutkan di atas, hewan-hewan seperti kuda, kerbau, unta, llama, alpaka, dan kelinci juga diternakkan di beberapa belahan dunia. Peternakan juga meliputi budidaya perairan untuk memelihara hewan air seperti ikan, udang, dan kerang. Peternakan serangga juga dilakukan di beberapa tempat, seperti peternakan lebah, ulat sutra, bahkan jangkrik yang dijadikan makanan di Thailand. Kebanyakan hewan ternak adalah herbivor atau pemakan tumbuhan, tetapi ada juga yang omnivor seperti babi atau ayam. Hewan pemamah biak (ruminansia) seperti sapi dan kambing dapat mencerna selulosa, sehingga dapat diberi makan rumput di alam bebas. Selain itu, hewan-hewan itu dapat diberi makan berenergi dan protein tinggi, seperti tumbuhan serealia dan pakan buatan. Hewan non-ruminansia tidak dapat memakan rumput sehingga harus makan dari sumber lain.

Pada zaman modern, dampak peternakan terhadap lingkungan mulai disoroti, karena kegiatan peternakan membutuhkan banyak air dan lahan, baik untuk hewan ternak maupun untuk tanaman yang ditumbuhkan sebagai makanannya. Selain itu, hewan ternak mengeluarkan emisi gas rumah kaca seperti metana (CH4), dinitrogen monoksida (N2O), dan karbon dioksida (CO2). Muncul juga kekhawatiran akan kesejahteraan hewan terutama seiring meningkatnya peternakan pabrik.

Aspek-aspek peternakan

Sistem ekstensif dan intensif

Domba Herdwick sedang diternakkan
Domba Herdwick diternakkan dalam di perbukitan dengan sistem ekstensif, Inggris

Awalnya, peternakan adalah bagian dari kehidupan petani swasembada, dengan tujuan bukan hanya sumber makanan untuk keluarga petani tetapi juga sumber pupuk, pakaian, sarana transportasi, tenaga untuk dimanfaatkan, serta bahan bakar. Awalnya, hewan dimanfaatkan sebisa mungkin selagi hidup untuk menghasilkan telur, susu, wol, bahkan darah (misalnya, oleh suku Maasai), dan memakan hewan itu sendiri bukanlah tujuan utama.[1] Dalam gaya hidup nomaden yang disebut transhumans, manusia dan hewan ternak berpindah antara beberapa kawasan tinggal musiman. Misalnya, di kawasan montane mereka tinggal di gunung pada musim panas dan di lembah pada musim dingin.[2]

Peternakan dapat dilakukan secara ekstensif (di luar) maupun intensif (di kandang). Dalam peternakan ekstensif, hewan dapat berkeliaran, kadang bebas atau kadang diawasi peternak atau penggembala agar dapat dilindungi dari pemangsa. Di Amerika Utara terdapat sistem ranch (Bahasa Inggris) atau rancho (Bahasa Spanyol), yaitu lahan besar yang dimiliki umum atau swasta yang menjadi tempat penggembalaan sapi dalam jumlah besar.[3] Terdapat juga tempat penggembalaan serupa di Amerika Selatan, Australia, atau tempat-tempat lain dengan lahan yang luas dan hujan yang sedikit. Selain untuk sapi, sistem ini dapat digunakan untuk domba, rusa, burung unta, llama, dan alpaka.[4]

Di kawasan tinggi Britania Raya, domba-domba dibawa ke atas pegunungan pada musim semi dan dibiarkan bebas memakan rumput, kemudian dibawa turun mendekati akhir tahun dan diberi makanan tambahan pada musim dingin.[5] Di daerah pedesaan, ternak seperti unggas dan babi dapat hidup dengan mencari sisa-sisa makanan. Di beberapa komunitas Afrika, ayam dapat hidup berbulan-bulan tanpa diberi makan dan masih menghasilkan satu atau dua telur per pekan.[1]

Pigs in a barn
Babi dikandangkan dalam sistem peternakan intensif, Amerika Serikat

Di sisi lain, hewan juga sering diternakkan secara intensif terutama di negara-negara maju yang menerapkan peternakan pabrik. Sapi perah dikandangkan dan makanannya dibawakan dari luar, sapi potong digemukkan di kandang-kandang khusus dengan kepadatan tinggi.[6] Babi dipelihara di bangunan yang suhunya dikendalikan, dan selama hidupnya tidak pernah berada di luar ruangan.[7] Hewan unggas dipelihara di kandang dan jeruji di dalam ruangan yang penerangannya dikendalikan.

Di antara dua sisi ini ada juga peternakan semi-intensif, yaitu campuran antara peternakan intensif dan ekstensif. Contohnya adalah peternakan keluarga yang hewannya berganti antara memakan dari alam dan memakan pakan yang disiapkan peternak. Kadang hal ini terjadi secara musiman, hewan ternak dibiarkan makan di luar hampir sepanjang tahun, tetapi saat rumput sudah tidak tumbuh lagi hewan diberi makan jerami, pakan, atau bahan-bahan lain yang dibawa dari luar.[8]

Pakan ternak

Sapi mengelilingi tempat makan
Sapi makan dari tempat yang telah disediakan, Inggris

Kebanyakan hewan ternak adalah herbivor atau pemakan tumbuhan; hewan ternak yang omnivor di antaranya ayam atau babi. Hewan-hewan herbivora ada yang pemakan rumput (seperti sapi), pemakan bahan bernutrisi tinggi seperti biji, buah, dan daun muda, serta pemakan berbagai macam bagian tumbuhan (seperti kambing). Selain itu, beberapa hewan ternak dapat digolongkan sebagai ruminansia atau pemamah biak, seperti sapi, domba, dan kambing. Hewan-hewan ini mencerna makanannya dua kali; pertama dengan mengunyah dan menelan normal, lalu memuntahkannya dalam bentuk mamahan untuk dikunyah lagi, sehingga dapat memaksimalkan gizi yang diserap.[9] Kebutuhan gizi hewan memamah biak dapat dipenuhi sebagian besar dengan memakan rumput. Rumput dapat tumbuh dari pangkalnya, sehingga walaupun banyak dimakan tetap hidup dan tumbuh lagi.[10]

Dalam iklim tertentu, rumput tidak tumbuh sepanjang tahun, misalnya hanya dalam musim panas atau dalam musim hujan, sehingga rumput dipangkas dan disimpan untuk kemudian hari, misalnya dalam bentuk jerami (rumput kering) atau silase (rumput terfermentasi).[11] Tanaman hijauan lain juga dapat ditanam dan disimpan sebagai tambahan makanan untuk musim yang minim tumbuhan.[12]

Seorang anak membawa hijauan untuk makanan ternak dengan sepeda, Tanzania.

Hewan dalam sistem ekstensif dapat memenuhi nutrisinya hanya dari alam, tetapi hewan ternak intensif biasanya membutuhkan tambahan makanan kaya energi dan protein. Energi biasanya didapat dari serealia seperti padi atau jagung (maupun produk olahannya), lemak, minyak, dan makanan kaya gula. Protein berasal dari pakan berbahan ikan atau daging, produk susu, kacang-kacangan, atau bahan olahan dari tumbuhan.[13] Hewan yang bukan pemamah biak seperti unggas atau babi tidak dapat mencerna selulosa yang ada di rumput, sehingga harus diberi pakan lain, misalnya dari serealia. Pakan ternak dapat ditanam di tempat peternakan ataupun dibeli dalam bentuk produk yang kadang dikhususkan sesuai jenis hewan, masa pertumbuhan, atau kebutuhan gizi khusus. Vitamin dan mineral dapat ditambahkan agar pakan menjadi seimbang.[14]

Pemuliaan ternak

Perkembangbiakan hewan ternak sering tidak terjadi secara spontan tetapi dikendalikan oleh peternak yang ingin agar keturunannya memiliki sifat-sifat tertentu. Contoh sifat yang sering diinginkan adalah ketahanan, kesuburan, kemampuan mengasuh anak, kecepatan tumbuh, konsumsi pakan yang efisien, proporsi tubuh ideal dan kejinakan. Untuk hewan yang diambil produknya (seperti susu atau wol), keunggulan kuantitas dan kualitas produksi juga merupakan sifat yang diinginkan. Selain itu, peternak menghindari sifat-sifat yang tidak diinginkan seperti penyakit atau perilaku agresif.[15][16]

Pemuliaan ternak, yaitu pengembangbiakan ternak untuk mencari sifat yang diinginkan, berperan meningkatkan produksi ternak dengan tajam. Pada 2007, berat ayam pedaging berumur delapan pekan umumnya mencapai hampir lima kali berat hewan yang sama pada tahun 1957.[15] Dalam waktu 30 tahun hingga 2007, produksi susu sapi di Amerika Serikat meningkat hampir dua kali lipat.[15]

Kesehatan ternak

Memberi vaksinasi kepada kambing di Niger

Faktor penting dalam kesehatan hewan ternak adalah perawatan yang baik, makanan yang tepat serta penjagaan kebersihan. Secara ekonomi, upaya menjaga kesehatan ternak akan menghasilkan keuntungan berupa produksi yang lebih optimal. Jika ternak terkena penyakit, ilmu kedokteran hewan dapat digunakan untuk mengobatinya, baik oleh peternak sendiri ataupun oleh dokter hewan. Di beberapa negara, seperti di Uni Eropa, ketika peternak mengobati ternaknya sendiri, mereka tetap diwajibkan mengikuti aturan yang ada dan mencatat tindakan yang diberikan.[17] Terdapat penyakit yang umum menjangkiti hewan ternak. Sebagian hanya menjangkiti hewan tertentu, misalnya penyakit kolera babi yang hanya menjangkiti babi,[18] atau penyakit mulut dan kuku yang menjangkiti berbagai hewan berkuku belah.[19]

Dalam kondisi parah, pemerintah dapat melakukan tindakan dengan membatasi impor atau ekspor, membatasi perpindahan ternak, menerapkan karantina, serta mewajibkan laporan dugaan penyakit. Sebagian penyakit dapat dicegah dengan vaksinasi, dan sebagian dapat diobati dengan antibiotik. Antibiotik pernah ditambahkan ke pakan untuk membantu pertumbuhan, tetapi praktik ini kini dihindari di banyak negara karena meningkatkan risiko resistansi antibiotik.[20]

Hewan dalam sistem peternakan intensif memiliki risiko tinggi terhadap parasit, baik parasit internal maupun eksternal. Contohnya, kutu laut banyak menjangkiti ikan salmon yang diternakkan secara intensif di Skotlandia.[21] Mengurangi atau memberantas parasit pada hewan ternak dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan.[22]

Sebagian penyakit, disebut zoonosis, dapat menular dari hewan ke manusia. Kadang penyakit ini berasal dari hewan liar yang menularkan penyakitnya ke hewan ternak yang memiliki keamanan biologi rendah. Menjangkitnya infeksi virus Nipah di Malaysia pada 1999 berasal dari babi yang mengalami kontak dengan kalong beserta kotoran dan urinnya. Babi ini terkena penyakit yang kemudian menular ke manusia.[23] Penyakit flu burung H5N1 berasal dari populasi burung liar dan dapat menyebar jarak jauh melalui migrasi burung. Virus ini mudah menyebar ke unggas ternak, dan ke manusia yang hidup dekat unggas tersebut. Penyakit-penyakit lain yang dapat menular ke manusia dari hewan ternak maupun liar adalah rabies, leptospirosis, bruselosis, tuberkulosis, dan trikinosis.[24]

Gambar pedesaan dengan berbagai hewan ternak: unta, kerbau, ayam, domba, dan kambing, ilustrasi dari Al-Wasithi, Irak

Macam-macam hewan ternak

Tidak ada definisi universal yang menentukan hewan apa saja yang dianggap hewan ternak. Berbagai pihak memiliki definisi masing-masing, contohnya pemerintah Indonesia mendefinisikannya sebagai "Hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian” dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014.[25] Hewan yang hampir selalu dianggap hewan ternak di antaranya sapi (termasuk sapi potong dan perah), kambing, domba, dan unggas (seperti ayam dan itik). Kuda kadang dianggap hewan ternak juga,[26] sedangkan beberapa burung unggas kadang tidak dianggap hewan ternak. Beberapa hewan ternak hanya ada di bagian dunia tertentu, misalnya kerbau atau anggota famili unta Amerika Selatan seperti llama dan alpaka.[27][28][29] Definisi yang lebih luas lagi juga mencakup peternakan ikan, hewan-hewan kecil seperti kelinci dan tikus belanda, maupun lebah madu dan serangga yang dipelihara untuk dimakan.[30]

Hasil

Tenaga kerbau digunakan untuk membajak sawah, Indonesia.

Hasil utama peternakan di antaranya daging, susu, dan telur, yang menjadi makanan untuk manusia. Hasil peternakan juga dapat dimanfaatkan industri, misalnya wol (untuk pakaian), kulit (untuk sepatu, tas, dan sebagainya), bulu, dan lemak (untuk sabun, mentega).[31] Tulang, tanduk, kuku, dan usus pun dapat digunakan untuk berbagai keperluan.[32] Kotoran hewan dapat digunakan sebagai sumber pupuk, sehingga mengembalikan sebagian mineral dan bahan organik yang dikonsumsi hewan ternak ke sistem dan membantu menumbuhkan kembali makanannya sendiri.[33] Tenaga hewan juga dapat dimanfaatkan, misalnya kuda sebagai sarana transportasi dan kerbau untuk membajak (terutama di negara yang belum banyak menggunakan mesin).[32] Hewan ternak juga dapat digunakan dalam kegiatan rekreasi, misalnya karapan sapi di Madura dan pacu jawi di Tanah Datar.[34] Ada juga hewan ternak yang dipelihara untuk tujuan khusus, misalnya menghasilkan vaksin dan antiserum (yang mengandung antibodi) untuk tujuan pengobatan.[35][36]

Jenis-jenis

Peternakan potong

Sapi Hereford
The Sapi Hereford, salah satu ras sapi potong yang banyak diternakkan di berbagai negara.

Peternakan potong menghasilkan daging, yang merupakan salah satu sumber utama protein di seluruh dunia. Rata-rata 8% dari kebutuhan energi manusia berasal dari daging. Jenis hewan yang dimakan tergantung pada preferensi dan kebiasaan setempat, ketersediaan, biaya, dan faktor-faktor lainnya. Sapi, kambing, domba, dan babi adalah spesies-spesies yang paling banyak diternakkan untuk dagingnya. Hewan-hewan ini memiliki kecepatan berkembang-biak yang berbeda. Sapi biasanya hanya melahirkan satu anak dan membutuhkan lebih dari setahun untuk dewasa; kambing dan domba sering memiliki anak kembar dan dapat disembelih sebelum umur satu tahun; babi adalah hewan yang sangat subur dan tiap tahun dapat menghasilkan hingga 11 anak.[37][38] Di kawasan tertentu, kuda, keledai, rusa, kerbau, llama, dan alpaka juga diternakkan untuk diambil dagingnya. Sifat yang diinginkan dari hewan-hewan ternak potong diantaranya kesuburan, ketahanan, kecepatan tumbuh, kemudahan pemeliharaan, dan efisiensi konversi makanan (tingginya hasil daging per pakan yang diberikan). Sekitar setengah dari daging di dunia dihasilkan dari hewan yang dibiarkan bebas di padang rumput atau kandang yang cukup luas, sedangkan setengahnya lagi dihasilkan dari peternakan intensif dengan sistem pabrik, terutama daging sapi, ayam, dan babi. Dalam sistem intensif, hewan-hewan ini dipelihara dalam ruangan dengan kepadatan tinggi.[39]

Peternakan perah

Bangunan peternakan besar yang banyak sapinya
Ruang pemerahan berputar di industri peternakan perah modern, Jerman

Semua mamalia menghasilkan susu untuk anak-anaknya, tetapi sapi adalah hewan utama yang dijadikan sumber susu untuk konsumsi manusia. Hewan lain juga diambil susunya di berbagai kawasan dunia, termasuk kambing, domba, unta, kerbau, kuda, dan keledai.[40] Hewan-hewan ternak perah telah didomestikasi dari habitat liarnya sejak lama, sehingga telah terjadi banyak pemuliaan sehingga memiliki sifat-sifat seperti kesuburan, produktivitas susu, kejinakan, dan kemampuan hidup di kondisi setempat.[41] Awalnya, dan kini masih dilakukan di berbagai peternakan tradisional, sapi memiliki berbagai fungsi sekaligus. Sapi tidak hanya dipelihara untuk diperah tetapi juga sebagai sumber tenaga (untuk menarik kendaraaan atau membajak sawah), kotorannya digunakan untuk menyuburkan tanah, dan menghasilkan produk lain seperti daging, kulit, atau rambutnya yang dapat dicukur dan dipintal.[40] Dalam peternakan modern, melalui pemuliaan muncul tipe-tepi sapi perah yang menghasilkan susu dalam jumlah sangat besar, seperti ras Sapi Holstein yang dikenal sangat ekonomis. Peternak dapat melakukan inseminasi buatan untuk mengawinkan hewan-hewan untuk menghasilkan keturunan unggul atau cocok dengan kondisi peternak.[41] Kambing dan domba kadang juga diternakkan untuk menghasilkan susu jika iklim atau kondisi setempat tidak memungkinkan peternakan sapi perah.[40]

Pada zaman modern, peternakan perah cenderung menunjukkan peralihan dari sistem peternakan keluarga menjadi peternakan besar yang intensif. Dalam peternakan keluarga yang kini mulai ditinggalkan, sapi makan dari padang rumput dan hanya dibawakan makanan saat musim dingin atau kering. Dalam sistem intensif, sapi dipelihara dalam jumlah besar, hidup di dalam bangunan, dan makanannya dibawakan sepanjang tahun tanpa diberi kesempatan merumput.[42]

Peternakan unggas

Banyak ayam berbaris di kerangkeng yang bertingkat-tingkat
"Kandang baterai", sistem untuk mengandangkan ayam petelur dengan kepadatan tinggi, Brazil

Hewan-hewan unggas, seperti ayam, bebek, angsa, dan kalkun diternakkan untuk dagingnya dan telurnya. Ayam adalah hewan utama yang diternakkan untuk telurnya. Metode peternakan unggas bervariasi dari sistem ekstensif yang membebaskan unggas-unggas berkeliaran dan hanya dikandangkan pada malam hari demi keamanan, atau sistem semi-intensif yang memelihara unggas di kandang besar atau pagar yang masih memungkinkan unggas tersebut bergerak atau bertengger, hingga sistem intensif yang memelihara unggas dalam kerangkeng. Salah satu metode yang digunakan dalam peternakan intensif adalah sistem kandang baterai, tempat unggas dikandangkan dalam kerangkeng sempit bertingkat-tingkat dengan sistem khusus untuk memberi makan, minum, dan mengambil telur. Secara ekonomi, metode ini memiliki produksi telur tinggi dan hemat tenaga kerja, tetapi banyak dikritik oleh para pengusung kesejahteraan hewan karena unggas dalam sistem ini tidak dapat mengikuti gaya hidup alamiahnya.[43]

Di negara-negara maju, ayam potong pun sebagian besar dipelihara di dalam ruangan, menggunakan kandang-kandang besar dengan kondisi yang diatur ketat menggunakan peralatan otomatis. Ayam broiler atau ayam ras pedaging biasanya dipelihara dengan cara ini, dan melalui budidaya genetis hewan ini dapat siap potong dalam umur enam atau tujuh pekan. Dalam sistem ini, ayam yang baru menetas dikurung dalam tempat kecil dan diberikan pemanas buatan. Kotoran mereka diserap oleh alas kandang dan tempatnya diperluas seiring tumbuhnya ayam-ayam ini. Pakan dan minuman diberikan secara otomatis dan penerangan dikendalikan secara ketat. Ayam dapat diambil dan disembelih dalam beberapa tahap, atau satu kandang dapat "dibersihkan" secara serentak.[44]

Sistem pemeliharaan serupa juga digunakan untuk kalkun, tetapi kalkun tidak beradaptasi dengan lingkungan ini semudah ayam. Kalkun juga butuh waktu lebih lama untuk tumbuh dan sering dipindahkan ke fasilitas khusus agar menggemuk.[45] Bebek adalah unggas populer di Asia dan Australia, dan dengan sistem komersial dapat dipotong saat berumur tujuh pekan.[46]

Budi daya perairan

Tambak ikan air tawar, Prancis.

Budi daya perairan atau akuakultur dapat meliputi berbagai hewan air (ikan, udang, tiram, dan sebagainya) atau tumbuhan air (misal alga) dengan melibatkan campur tangan manusia untuk pembibitan, pemberian makanan, peningkatan produksi, perlindungan dari predator, dan lain-lain.[47] Budi daya perairan juga melibatkan kepemilikan perorangan atau perusahaan terhadap hewan atau tumbuhan yang dibudidayakan. Dalam prakteknya, budi daya perairan dapat dilakukan di laut ataupun air tawar, dan dapat bersifat ekstensif maupun intensif. Budi daya ekstensif dapat dilakukan di suatu teluk, danau, atau kolam, sedangkan budi daya intensif dapat melibatkan tangki, kerangkeng, jaring, atau karang buatan. Ikan dan udang dapat dibudidayakan di sawah, baik melalui pembibitan atau datang sendiri, sehingga memberi hasil tambahan untuk petani.[48]

Bibit dapat dihasilkan di mesin tetas yang menghasilkan ikan, udang, atau tiram muda yang kemudian dipelihara. Bibit tersebut kemudian dipindahkan ke tangki khusus ketika cukup besar, dan dijual ke pembudi daya ikan untuk diperlihara hingga lebih besar lagi. Spesies yang banyak menggunakan pembibitan di mesin tetas di antaranya udang, ikan salmon, ikan nila, tiram, dan kerang. Fasilitas pembibitan serupa dapat dilakukan untuk memelihara hewan yang akan dibebaskan ke alam, atau mengisi perairan yang digunakan untuk memancing. Aspek peternakan yang penting dalam proses pembibitan di antaranya pemilihan bibit, pengendalian kualitas air, dan pemberian makanan. Di alam, hewan air memiliki tingkat kematian tinggi di usia muda. Tujuan budi daya bibit adalah mengurangi risiko kematian dan memaksimalkan kecepatan pertumbuhan.[49]

Peternakan serangga

Jangkrik diternakkan untuk dijadikan makanan manusia, Thailand

Lebah telah dipelihara di sarang lebah buatan sejak masa Dinasti Pertama Mesir Kuno, kira-kira lima ribu tahun yang lalu.[50] Sebelum itu, manusia telah lama mengambil madu dari lebah liar. Sarang buatan dapat dibuat dari berbagai bahan yang ada di berbagai kawasan dunia.[51] Di negara-negara berkembang, budi daya lebah telah menghasilkan jenis lebah yang jinak dan berproduksi tinggi, dan sarang lebah dirancang khusus untuk memudahkan pengambilan madu. Selain menghasilkan madu dan lilin, lebah juga dipelihara dan disalurkan untuk membantu penyerbukan tanaman pertanian maupun tanaman liar.[52]

Peternakan ulat sutra, atau serikultur, telah ada paling tidak sejak Dinasti Shang di Tiongkok.[53] Bombyx mori adalah satu-satunya spesies yang dapat diternakkan secara komersial. Hewan ini menghasilkan benang sutera yang panjang dan tipis saat larvanya membentuk kepompong. Ulat ini memakan daun murbei dan hal ini berarti hanya satu generasi dapat tumbuh per tahun karena tumbuhan ini bersifat musiman. Dua generasi per tahun dapat tumbuh di Tiongkok, Korea, atau Jepang, dan lebih banyak lagi dapat tumbuh di daerah tropis. Saat ini, kebanyakan produksi sutra terjadi di daerah Asia Timur, dan di Jepang pakan sintesis digunakan untuk menumbuhkan ulat sutra.[54]

Berbagai serangga menjadi bahan makanan dalam beberapa budaya.[55] Di Thailand bagian utara, jangkrik diternakkan untuk menjadi makanan sedangkan di bagian selatan negara tersebut ulat sagu diternakkan untuk tujuan serupa. Jangkrik dipelihara di kandang atau kotak dan diberi pakan komersial, sedangkan ulat sagu memakan batang sagu sehingga hanya bisa diternakkan jika tumbuhan tersebut tersedia.[56]

Sejarah

Awal peternakan

Domestikasi hewan pemamah biak seperti domba memberikan sumber makanan yang stabil untuk suku pengembara di Timur Tengah dan Asia Tengah. Gambar: Domba di Afganistan

Domestikasi hewan ternak (budi daya hewan yang sebelumnya merupakan hewan liar di alam) didorong oleh kebutuhan manusia akan makanan jika hasil berburu tidak cukup. Sifat-sifat yang dicari dari hewan yang hendak didomestikasi adalah hewan tersebut harus berguna untuk peternaknya, mampu hidup bersama manusia, mudah berkembang biak, dan mudah dipelihara.[57] Domestikasi bukanlah satu peristiwa tunggal, melainkan sebuah proses yang terjadi berkali-kali di berbagai tempat dan waktu. Misalnya, para suku pengembara di Timur Tengah awalnya mendomestikasi domba dan kambing, sedangkan sapi dan babi banyak didomestikasi oleh komunitas penetap.[58]

Hewan liar pertama yang didomestikasi manusia adalah anjing. Anjing didomestikasi perlahan-lahan karena dibiarkan memakan sampah dan memangsa hewan-hewan yang mengganggu manusia. Selanjutnya, berbagai hewan didomestikasi untuk menjadi makanan, seperti domba, kambing, babi, dan sapi. Proses ini terjadi di awal sejarah pertanian.[58] Babi pertama kali didomestikasi di Mesopotamia pada 13.000 SM.[59] Domba didomestikasi antara 11.000 dan 9.000 SM.[60] Sapi didomestikasi dari leluhurnya yaitu hewan liar aurochs atau urus di kawasan yang kini merupakan Turki dan Pakistan sekitar tahun 8.500 SM.[61]

Sapi menjadi hewan yang menguntungkan untuk manusia karena sapi betina menghasilkan susu melebihi kebutuhan anaknya dan memiliki tenaga yang cukup kuat untuk menarik bajak yang menyuburkan dan kelak kereta untuk mengangkat hasil pertanian. Penggunaan hewan pekerja seperti ini pertama kali terjadi sekitar 4.000 SM di Timur Tengah dan menyebabkan hasil pertanian meningkat tajam.[58] Di kawasan Asia Selatan, gajah juga didomestikasi sejak sekitar 6.000 SM.[62]

Fosil tulang ayam yang berasal dari tahun 5.040 SM telah ditemukan di kawasan timur laut Tiongkok, dibawa jauh dari habitat liar leluhurnya di kawasan rimba tropis Asia. Para arkeolog memperikarakan awalnya ayam didomestikasi untuk permainan sabung ayam.[63] Di Amerika Selatan, terjadi domestikasi hewan llama dan alpaka pada sekitar 3.000 SM untuk dijadikan hewan pengangkut dan diambil wolnya. Tenaga kedua hewan ini tidak cukup untuk menarik bajak, sehingga menghambat perkembangan pertanian di Benua Amerika.[58]

Kuda yang hidup liar di stepa Asia Tengah didomestikasi sekitar 3.000 SM di kawasan Laut Hitam dan Laut Kaspia. Awalnya, hewan ini dimanfaatkan sebagai sumber makanan dan selanjutnya dijadikan hewan pengangkut dan hewan tunggangan. Pada sekitar saat yang sama, keledai liar didomestikasi di Mesir Kuno.[64] Tak lama kemudian, dua jenis unta didomestikasi yaitu Unta Baktria berpunuk dua di Mongolia dan Unta Arab berpunuk satu, yang dijadikan hewan pengangkut. Pada tahun 1000 SM, karavan atau rombongan yang mengandalkan unta menjadi tulang punggung perdagangan antara India dan kawasan Mesopotamia dan Laut Tengah.[58]

Dalam peradaban kuno

Lukisan Mesir Kuno yang menggambarkan pemerahan sapi

Di Mesir Kuno, sapi adalah hewan ternak paling penting. Selain itu, domba, kambing, dan babi juga dipelihara. Unggas seperti bebek, angsa, dan merpati ditangkap dengan jaring dan diternakkan di ladang, dan dipaksa memakan adonan tepung agar cepat gemuk.[65] Sungai Nil juga merupakan penghasil ikan, sedangkan lebah madu sudah didomestikasi setidaknya sejak masa Kerajaan Lama Mesir untuk diambil madu dan lilinnya.[66]

Peradaban Romawi Kuno juga memelihara hewan-hewan yang diternakkan bangsa Mesir. Selain itu, mereka juga mendomestikasi kelinci sejak abad pertama SM untuk dijadikan makanan. Penulis Romawi Plinius Tua (abad pertama Masehi) juga menyebutkan domestikasi hewan feret.[67]

Dalam abad pertengahan

Lukisan peternak serta domba yang berada di dalam pagar.
Peternak domba di lukisan Prancis abad ke-15.

Kegiatan pertanian, termasuk peternakan, mengalami kemunduran di Eropa bagian utara setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-5 M. Beberapa aspek peternakan seperti penggembalaan hewan tetap berlanjut pada periode ini. Pada abad ke-11, ekonomi pulih kembali dan lahan pertanian pun kembali produktif.[68] Di Inggris, Buku Domesday yang disusun pada abad ke-11 berusaha mencatat setiap lahan dan hewan ternak yang ada di negeri tersebut: "Tidak satu hide atau yard tanah pun, bahkan... tidak satupun sapi atau babi yang tersisa, tak ada yang tidak tercatat di catatan Sri Raja."[69] Misalnya, untuk desa Earley di Berkshire tercatat memiliki "2 tambak ikan [dengan pajak per tahun] 7s dan 6p dan 20 ekar padang rumput [untuk hewan ternak]. Terdapat hutan kayu [untuk memberi makan] 70 ekor babi."[70]

Berkembangnya peternakan di Eropa abad pertengahan berjalan seiring dengan perkembangan lain. Inovasi pada alat bajak memungkinkan tanah untuk dibajak lebih dalam lagi. Kuda menggantikan sapi sebagai hewan penarik utama, gagasan-gagasan baru untuk rotasi tanaman bermunculan, dan praktik menanam tanaman agar disimpan untuk pakan ternak musim dingin juga meluas. Berbagai jenis kacang-kacangan mulai ditanam; tanaman ini meningkatkan kesuburan tanah karena dapat mengikat nitrogen, sehingga memungkinkan jumlah hewan ternak yang lebih besar.

Interaksi Dunia Lama dan Dunia Baru

Penjelajahan benua Amerika oleh bangsa Eropa menyebabkan penyebaran tanaman dan hewan antara "Dunia Baru" (Benua Amerika) dan "Dunia Lama" (Eropa, Asia, dan Afrika); penyebaran ini disebut juga "Pertukaran Kolumbus". Tanaman-tanaman asli Dunia Baru seperti jagung, kentang, dan singkong menyebar ke Dunia Lama, sedangkan tanaman Dunia Lama seperti gandum, beras, dan jelai maupun hewan ternak seperti sapi, kuda, domba, dan kambing menyebar ke benua Amerika untuk pertama kalinya.[71]

Revolusi Pertanian Britania

Praktik seleksi buatan di Inggris meningkatkan sifat-sifat unggul Domba Lincoln.

Prinsip-prinsip ilmiah praktik seleksi buatan untuk menghasilkan keturunan dengan sifat-sifat unggul secara sistematis diperkenalkan oleh Robert Bakewell pada abad ke-18 dan merupakan faktor penting dalam Revolusi Pertanian Britania. Dengan memilih dan mengawinkan hewan ternak lokal, Bakewell dengan cepat dapat menghasilkan jenis domba yang besar, bertulang lembut, dengan wol panjang dan berkualitas tinggi. Bakewell mengembangkan ras Domba Lincoln, yang juga digunakan menghasilkan ras baru yang disebut New Leicester (atau Dishley Leicester). Ras ini adlaah dogol atau tidak bertanduk, dan memiliki tubuh berdaging, gemuk, dan berbentuk mirip segi empat. Ia menyewakan hewan-hewan ternaknya untuk peternak lain yang juga ingin memuliakan ternaknya.[72] Domba-domba ini juga diekspor dan merupakan salah satu sumber gen ras-ras domba modern. Di bawah pengaruhnya, para peternak Inggris mengembangkan pertanian sapi potong. Salah satu ras sapi yang dihasilkan adalah Longhorn Inggris.[73]

Dampak peternakan

Bagi lingkungan

Peternakan sapi
Pemeliharaan dan menumbuhkan makanan hewan ternak membutuhkan lahan yang besar.

Peternakan memiliki pengaruh besar bagi lingkungan. Peternakan membutuhkan air sebesar 20% hingga 33% konsumsi air tawar dunia,[74] dan pemeliharaan ternak atau makanan ternak menggunakan sepertiga daratan dunia yang tidak tertutup es.[75] Peternakan menjadi salah satu faktor penyebab kepunahan spesies, penggersangan tanah,[76] dan kerusakan habitat.[77] Peternakan terkait dengan kepunahan spesies melalui beberapa hal. Pembukaan lahan untuk peternakan atau menumbuhkan makanan ternak sering dilakukan dengan cara menebang hutan dan merusak habitat, dan diiringi perburuan terhadap predator atau herbivora yang dianggap mengganggu. Misalnya, peternakan diperkirakan menyebabkan hingga 91% dari seluruh penggundulan hutan di kawasan hutan Amazon..[78] Peternakan juga menghasilkan gas rumah kaca, misalnya sapi menghasilkan sekitar 570 juta meter kubik gas metana (CH4) per hari,[79] yang merupakan 35%–40% dari seluruh emisi metana di bumi.[80] Secara keseluruhan, hewan ternak adalah penyebab 65% emisi gas dinitrogen monoksida (N2O) yang terkait manusia.[80] Alhasil, sebagian pihak mencoba meneliti cara mengurangi efek lingkungan dari peternakan. Strategi yang mulai diajukan di antaranya penggunaan biogas sebagai bahan bakar.[81]

Bagi kesejahteraan hewan

Sejak abad ke-18, mulai muncul kekhawatiran tentang kesejahteraan hewan ternak. Faktor-faktor yang dijadikan tolok ukur kesejahteraan hewan adalah umur, perilaku, fungsi hidup (fisiologi), reproduksi, kebebasan dari penyakit, dan kebebasan dari imunosupresi. Di berbagai belahan dunia muncul standar dan hukum untuk menjamin kesejahteraan hewan. Di Dunia Barat, standar yang berlaku biasanya sesuai dengan prinsip utilitarianisme, yang menganggap peternakan adalah hal yang dapat diterima secara moral asalkan tidak ada penderitaan yang tak perlu, dan manfaat untuk manusia melebihi mudarat untuk hewan ternak. Selain utilitarianisme, ada pula paham yang menganggap hewan memiliki hak asasi. Menurut paham ini, hewan tidak boleh dijadikan hak milik, dan manusia sebenarnya tidak perlu dan tidak boleh memanfaatkannya untuk tujuan manusia sendiri.[82][83][84][85][86]

Dalam budaya

Ilustrasi babi yang berjalan tegak dan berpakaian di sebuah buku anak-anak
Babi yang bisa berjalan tegak dan berpakaian, di buku anak-anak The Tale of Pigling Bland tahun 1913 oleh Beatrix Potter

Hewan ternak banyak muncul dalam buku, cerita, dan lagu anak-anak di seluruh dunia. Namun, realitas peternakan sering diubah atau diperlunak sehingga kehidupan di peternakan yang diketahui anak-anak sering kali merupakan fiksi yang benar-benar lepas dari kenyataan. Banyak kisah anak-anak menggambarkan hewan ternak seperti manusia, seperti mengenakan pakaian, memiliki rumah, berjalan tegak, dan melakukan aktivitas layaknya manusia. Kisah-kisah ini juga sering menggambarkan hewan-hewan tersebut bebas berkeliaran di negeri pedesaan yang indah, walaupun gambaran ini tidak sesuai dengan perlakuan terhadap hewan dalam peternakan intensif modern hewan ternak.[87]

Lagu Bahasa Inggris "Old MacDonald Had a Farm" (yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa) menceritakan petani bernama MacDonald yang memiliki berbagai hewan ternak; lagu ini menyanyikan bunyi khas setiap hewan tersebut.[88] Contoh hewan ternak dalam fiksi anak-anak dunia adalah babi, yang muncul di buku anak-anak Inggris oleh Beatrix Potter, atau sebagai Piglet di kisah Winnie the Pooh tulisan A. A. Milne. Beberapa cerita, seperti The Sheep-Pig oleh Dick King-Smith atau Charlotte's Web oleh E. B. White, memberikan sedikit bayangan bahwa babi-babi ini akan dipotong.[89] Secara umum, dalam literatur dunia babi sering menjadi "pembawa keceriaan, kejenakaan, dan keluguan".[87]

Di beberapa daerah perkotaan anak-anak sering tidak pernah melihat hewan ternak secara langsung, sehingga muncul "taman sentuh", "peternakan interaktif", atau "kebun binatang" khusus yang memungkinkan anak-anak berinteraksi dengan hewan ternak yang masih hidup dan menyentuhnya. Di Britania Raya, sekitar lima juta orang mengunjungi taman atau daerah peternakan seperti ini setiap tahunnya. Tempat seperti ini berisiko meyebebkan infeksi, terutama jika anak memegang hewan ternak lalu tidak mencuci tangan; infeksi bakteri Escherichia coli pernah menjangkit 93 orang pengunjung sebuah peternakan interaktif di Britania pada tahun 2009.[90] Di Amerika Serikat, pengunjung dapat menginap di lahan pertanian dan peternakan bersejarah yang sengaja direstorasi untuk tujuan ini. Tempat seperti ini sering menyediakan pengalaman seperti cerita-cerita peternakan masa lalu sebelum zaman industri, dan disindir oleh majalah daring Modern Farmer sebagai "versi pertanian yang benar-benar dikuratori untuk mereka yang mau bayar".[91]

Referensi

  1. ^ a b Webster, John (2013). Animal Husbandry Regained: The Place of Farm Animals in Sustainable Agriculture. Routledge. hlm. 4–10. ISBN 978-1-84971-420-4. 
  2. ^ Blench, Roger (17 May 2001). 'You can't go home again' – Pastoralism in the new millennium (PDF). London, UK: Overseas Development Institute. hlm. 12. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-02-01. Diakses tanggal 2019-09-11. 
  3. ^ Starrs, Paul F. (2000). Let the Cowboy Ride: Cattle Ranching in the American West. JHU Press. hlm. 1–2. ISBN 978-0-8018-6351-6. 
  4. ^ Levinson, David; Christensen, Karen (2003). Encyclopedia of Community: From the Village to the Virtual World. Sage. hlm. 1139. ISBN 978-0-7619-2598-9. 
  5. ^ Rebanks, James (2015). The Shepherd's Life. Penguin: Random House. hlm. 286. ISBN 978-0-14-197936-6. 
  6. ^ Silbergeld, Ellen K; Graham, Jay; Price, Lance B (2008). "Industrial food animal production, antimicrobial resistance, and human health". Annual Review of Public Health. 29: 151–69. doi:10.1146/annurev.publhealth.29.020907.090904. PMID 18348709. 
  7. ^ Meyer, Vernon M.; Driggers, L. Bynum; Ernest, Kenneth; Ernest, Debra. "Swine Growing-Finishing Units" (PDF). Pork Industry handbook. Purdue University Cooperative Extension Service. Diakses tanggal 17 May 2017. 
  8. ^ Blount, W.P. (2013). Intensive Livestock Farming. Elsevier. hlm. 360–62. ISBN 978-1-4831-9565-0. 
  9. ^ Dryden, Gordon McL. (2008). Animal Nutrition Science. CABI. hlm. 1–3. ISBN 978-1-78064-056-3. 
  10. ^ Attenborough, David (1984). The Living Planet. British Broadcasting Corporation. hlm. 113–14. ISBN 978-0-563-20207-3. 
  11. ^ United States Agricultural Research Service. Animal Husbandry Research Division (1959). Hay crop silage. 
  12. ^ Jianxin, Liu; Jun, Guo. "Ensiling crop residues". Animal production based on crop residues. FAO. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  13. ^ Dryden, Gordon McL. (2008). Animal Nutrition Science. CABI. hlm. 16–19. ISBN 978-1-84593-412-5. 
  14. ^ "What farm animals eat". Food Standards Agency. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  15. ^ a b c Turner, Jacky (2010). Animal Breeding, Welfare and Society. Routledge. hlm. Introduction. ISBN 978-1-136-54187-2. 
  16. ^ Jarman, M.R.; Clark, Grahame; Grigson, Caroline; Uerpmann, H.P.; Ryder, M.L. (1976). "Early Animal Husbandry". Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series B. 275 (936): 85–97. Bibcode:1976RSPTB.275...85J. doi:10.1098/rstb.1976.0072. 
  17. ^ "Farmers". European Platform for the Responsible Use of Medicines in Animals. 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 May 2017. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  18. ^ "Classical swine fever" (PDF). The Center for Food Security and Public Health. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  19. ^ "Foot-and-mouth". The Cattle Site. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  20. ^ "feed (agriculture) | Antibiotics and other growth stimulants". Britannica.com. Diakses tanggal 29 April 2018. 
  21. ^ Fraser, Douglas (14 February 2017). "Scottish salmon farming's sea lice 'crisis'". BBC. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  22. ^ "Parasite control". Animal Health Ireland. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-14. Diakses tanggal 20 May 2017. 
  23. ^ Chua, K.B.; Chua, B.H.; Wang, C.W. (2002). "Anthropogenic deforestation, El Niño and the emergence of Nipah virus in Malaysia". The Malaysian Journal of Pathology. 24 (1): 15–21. PMID 16329551. 
  24. ^ Norrgren, Leif; Levengood, Jeffrey M. (2012). Ecology and Animal Health. Baltic University Press. hlm. 103–04. ISBN 978-91-86189-12-9. 
  25. ^ Pemerintah Indonesia (2014), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PDF), Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5619, Jakarta: Sekretariat Negara, diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-10-18, diakses tanggal 2019-10-19 
  26. ^ "Welcome to Equine Research, Education, and Outreach". University of Kentucky. Diakses tanggal 18 August 2017. 
  27. ^ Ferguson, W.; Ademosun, A.A.; von Kaufmann, R.; Hoste, C.; Rains, A. Blair. "5. Livestock resources and management". Food and Agriculture Organization. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  28. ^ "Livestock Species". Texas A&M University Department of Agriculture and Life Sciences. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  29. ^ Steinfeld, H.; Mäki-Hokkonen, J. "A classification of livestock production systems". Food and Agriculture Organization. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  30. ^ Myers, Melvin L. "Chapter 70 – Livestock Rearing". Encyclopaedia of Occupational Health and Safety. Diakses tanggal 24 May 2017. 
  31. ^ Ni Made Ayu Gemuh Rasa Astiti 2018, hlm. 133–135.
  32. ^ a b Ni Made Ayu Gemuh Rasa Astiti 2018, hlm. 135.
  33. ^ Godinho, Denise. "Animal Husbandry in Organic Agriculture". Food and Agriculture Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-18. Diakses tanggal 25 May 2017. 
  34. ^ Ni Made Ayu Gemuh Rasa Astiti 2018, hlm. 140.
  35. ^ Bae, K.; Choi, J.; Jang, Y.; Ahn, S.; Hur, B. (2009). "Innovative vaccine production technologies: the evolution and value of vaccine production technologies". Arch Pharm Res. 32 (4): 465–80. doi:10.1007/s12272-009-1400-1. PMID 19407962. 
  36. ^ Leenaars, Marlies; Hendriksen, Coenraad F.M. (2005). "Critical Steps in the Production of Polyclonal and Monoclonal Antibodies: Evaluation and Recommendations". ILAR Journal. 46 (3): 269–79. doi:10.1093/ilar.46.3.269. PMID 15953834. 
  37. ^ Aherne, Frank; Kirkwood, Roy (16 February 2001). "Factors Affecting Litter Size". The Pig Site. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-07-14. Diakses tanggal 2019-09-15. 
  38. ^ Gregory, Neville G.; Grandin, Temple (2007). Animal Welfare and Meat Production. CABI. hlm. 1–2. ISBN 978-1-84593-216-9. 
  39. ^ Miller, G. Tyler; Spoolman, Scott (2014). Sustaining the Earth. Cengage Learning. hlm. 138. ISBN 978-1-285-76949-3. 
  40. ^ a b c "Dairy animals". Dairy production and products. FAO. Diakses tanggal 23 May 2017. 
  41. ^ a b "Breeding". Dairy production and products. FAO. Diakses tanggal 23 May 2017. 
  42. ^ "Housing in a zero grazing system" (PDF). Republic of Kenya: Ministry of Livestock Development. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2018-01-28. Diakses tanggal 5 June 2017. 
  43. ^ "About egg laying hens". Compassion in World Farming. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  44. ^ "Growing meat chickens". Australian Chicken Meat Federation. 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-15. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  45. ^ Sherwin, C.M. (2010). "Turkeys: Behavior, Management and Well-Being". In The Encyclopaedia of Animal Science. Wilson G. Pond and Alan W. Bell (Eds). Marcel Dekker. pp. 847–49
  46. ^ "Duck". Poultry Hub. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-04. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  47. ^ "Global Aquaculture Production". Fishery Statistical Collections. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  48. ^ "Fish culture in rice fields". Fishery Statistical Collections. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  49. ^ Mosig, John; Fallu, Ric (2004). Australian Fish Farmer: A Practical Guide to Aquaculture. Landlinks Press. hlm. 25–28. ISBN 978-0-643-06865-0. 
  50. ^ "Ancient Egypt: Bee-keeping". Reshafim.org.il. 6 June 2003. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-09. Diakses tanggal 22 May 2017. 
  51. ^ "Fixed combs". Bees for Development. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 May 2011. Diakses tanggal 22 May 2017. 
  52. ^ Jabr, Ferris (1 September 2013). "The Mind-Boggling Math of Migratory Beekeeping". Scientific American. Diakses tanggal 22 May 2017. 
  53. ^ Barber, E.J.W. (1992). Prehistoric textiles: the development of cloth in the Neolithic and Bronze Ages with special reference to the Aegean. Princeton University Press. hlm. 31. ISBN 978-0-691-00224-8. 
  54. ^ Hill, Dennis S. (2012). The Economic Importance of Insects. Springer Science & Business Media. hlm. 21–22. ISBN 978-94-011-5348-5. 
  55. ^ Carrington, Damian (1 August 2010). "Insects could be the key to meeting food needs of growing global population". The Guardian. 
  56. ^ Six-legged Livestock: Edible insect farming, collection and marketing in Thailand (PDF). Bangkok: Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2013. ISBN 978-92-5-107578-4. 
  57. ^ Clutton-Brock, Juliet (1999). A Natural History of Domesticated Mammals. Cambridge University Press. hlm. 1–2. ISBN 978-0-521-63495-3. 
  58. ^ a b c d e "History of the domestication of animals". Historyworld. Diakses tanggal 3 June 2017. 
  59. ^ Nelson, Sarah M. (1998). Ancestors for the Pigs. Pigs in prehistory. University of Pennsylvania Museum of Archaeology and Anthropology. ISBN 9781931707091. 
  60. ^ Ensminger, M.E.; Parker, R.O. (1986). Sheep and Goat Science (edisi ke-Fifth). Interstate Printers and Publishers. ISBN 978-0-8134-2464-4. 
  61. ^ McTavish, E.J., Decker, J.E., Schnabel, R.D., Taylor, J.F. and Hillis, D.M. (2013). "New World cattle show ancestry from multiple independent domestication events". Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. National Academy of Sciences. 110 (15): 1398–1406. Bibcode:2013PNAS..110E1398M. doi:10.1073/pnas.1303367110. PMC 3625352alt=Dapat diakses gratis. PMID 23530234. 
  62. ^ Gupta, Anil K. in Origin of agriculture and domestication of plants and animals linked to early Holocene climate amelioration, Current Science, Vol. 87, No. 1, 10 July 2004 59. Indian Academy of Sciences.
  63. ^ Adler, Jerry; Lawler, Andrew (1 June 2012). "How the Chicken Conquered the World". Smithsonian Magazine. Diakses tanggal 5 June 2017. 
  64. ^ Sapir-Hen, Lidar; Erez Ben-Yosef (2013). "The Introduction of Domestic Camels to the Southern Levant: Evidence from the Aravah Valley" (PDF). Tel Aviv. 40 (2): 277–85. doi:10.1179/033443513x13753505864089. 
  65. ^ Manuelian, Peter der (1998). Egypt: The World of the Pharaohs. Cologne: Könemann. hlm. 381. ISBN 978-3-89508-913-8. 
  66. ^ Nicholson, Paul T. (2000). Ancient Egyptian Materials and Technology. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 409. ISBN 978-0-521-45257-1. 
  67. ^ Clutton-Brock, Juliet (1981). Domesticated animals from early times. Heinemann. hlm. 145. 
  68. ^ O'Connor, Terry (30 September 2014). "Livestock and animal husbandry in early medieval England". Quaternary International. 346: 109–18. Bibcode:2014QuInt.346..109O. doi:10.1016/j.quaint.2013.09.019. 
  69. ^ The Anglo-Saxon Chronicle. Diterjemahkan oleh Giles, J.A.; Ingram, J. Project Gutenberg. 1996. 
  70. ^ "Interpreting Domesday". The National Archives. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  71. ^ Crosby, Alfred. "The Columbian Exchange". History Now. The Gilder Lehrman Institute of American History. Diakses tanggal 28 May 2017. 
  72. ^ "Robert Bakewell (1725–1795)". BBC History. Diakses tanggal 20 July 2012. 
  73. ^ "English Longhorn". The Cattle Site. Diakses tanggal 26 May 2017. 
  74. ^ Mekonnen, Mesfin M.; Hoekstra, Arjen Y. (2012). "A Global Assessment of the Water Footprint of Farm Animal Products" (PDF). Water Footprint Network. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2015-03-11. Diakses tanggal 2019-09-15. 
  75. ^ "Livestock a major threat to environment". Food and Agriculture Organizations of the United Nations. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-03-28. Diakses tanggal 2019-09-15. 
  76. ^ Whitford, Walter G. (2002). Ecology of desert systems. Academic Press. hlm. 277. ISBN 978-0-12-747261-4. 
  77. ^ "Unit 9: Biodiversity Decline // Section 7: Habitat Loss: Causes and Consequences". Annenberg Learner. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-28. Diakses tanggal 2021-03-04. 
  78. ^ Margulis, Sergio (2003). "Causes of Deforestation of the Brazilian Rainforest". Washington: World Bank Publications. 
  79. ^ Ross, Philip (2013). "Cow farts have 'larger greenhouse gas impact' than previously thought; methane pushes climate change". International Business Times. 
  80. ^ a b Steinfeld H.; Gerber P.; Wassenaar T.; Castel V.; Rosales M.; de Haan C. (2006). "Livestock's Long Shadow: Environmental Issues and Options". FAO. Diakses tanggal 13 December 2017. 
  81. ^ Monteny, Gert-Jan; Andre Bannink; David Chadwick (2006). "Greenhouse Gas Abatement Strategies for Animal Husbandry, Agriculture, Ecosystems & Environment". Agriculture, Ecosystems & Environment. 112 (2–3): 163–70. doi:10.1016/j.agee.2005.08.015. 
  82. ^ Grandin, Temple (2013). "Animals are not things: A view on animal welfare based on neurological complexity" (PDF). Trans-Scripts 3: An Interdisciplinary Online Journal in Humanities And Social Sciences at UC Irvine. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 19 August 2014. 
  83. ^ Hewson, C.J. (2003). "What is animal welfare? Common definitions and their practical consequences". The Canadian Veterinary Journal. 44 (6): 496–99. PMC 340178alt=Dapat diakses gratis. PMID 12839246. 
  84. ^ Broom, D.M. (1991). "Animal welfare: concepts and measurement". Journal of Animal Science. 69 (10): 4167–75. doi:10.2527/1991.69104167x. PMID 1778832. 
  85. ^ Garner, R. (2005). Animal Ethics. Polity Press. 
  86. ^ Regan, T. (1983). The Case for Animal Rights. University of California Press. 
  87. ^ a b Hoult-Saros, Stacy E. (2016). The Mythology of the Animal Farm in Children's Literature: Over the Fence. Lexington Books. hlm. 18–29. ISBN 978-1-4985-1978-6. 
  88. ^ Waltz, Robert B.; Engle, David G. (2016). "Old MacDonald Had a Farm". The Traditional Ballad Index. Diakses tanggal 18 May 2017. 
  89. ^ "Livestock in literature". Compassion in World Farming. 1 October 2015. 
  90. ^ Laurance, Jeremy (15 June 2010). "Children's Petting Farms Face Tough New Rules". The Independent. 
  91. ^ Searle, Sarah (30 June 2014). "Stop Romanticizing Farms". Modern Farmer.