Lompat ke isi

Pemikiran etis Agustinus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Pemikiran Etis Agustinus)
Agustinus

Pemikiran Agustinus dari Hippo memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan pemikiran kekristenan selanjutnya.[1] Teologi dan filosofi abad pertengahan berakar di dalam ide-ide Agustinus dari Hippo.[1]

Dasar Etika Agustinus[sunting | sunting sumber]

Dasar etika Agustinus adalah etika yang menekankan pentingnya kehendak bebas dan anugerah Allah sebagai dasar perbuatan etis manusia.[2] Menurut Agustinus, Allah mengetahui segala hal sebelum manusia bertindak.[2] Namun, hal itu bukan berarti segala sesuatu telah terjadi menurut takdirnya (takdir merupakan bentuk penolakan dari kamauan kehendak bebas).[2] Allah memang berkuasa, tetapi Allah tetap memperbolehkan manusia untuk berkehendak.[2]

Manusia tetap mempunyai kuasa untuk berkehendak bebas sama seperti Tuhan yang juga mempunyai kuasa dan kehendak.[3] Agustinus menyebutkan dua buah kehendak, yaitu kehendak bebas Allah dan kehendak bebas manusia.[3] Perbedaannya, kehendak manusia sering kali digunakan dengan cara yang salah, seperti melontarkan kata-kata kotor, kelancangan, dan fitnah.[3]

Tidak ada kejahatan di luar keinginan.[3] Allah sang pencipta menciptakan semuanya dengan baik. Agustinus menolak segala bentuk teologi dualisme metafisik. Allah sendiri yang menjadi sumber seluruh keberadaan dan segala sesuatu yang baik.[3] Menurut Agustinus, hal-hal yang jahat bukan diciptakan Allah.[3] Menurut Agustinus kejahatan ditemukan dalam keinginan ciptaan yang memiliki akal budi.[4] Dalam melakukan kejahatan setiap orang dibebaskan dari keadilan dan menjadi hamba dosa. Namun, tidak ada seorangpun yang bisa bebas dari dosa dengan melakukan hal-hal yang baik.[4][butuh klarifikasi] Seseorang hanya dapat dibebaskan dan lepas dari yang jahat hanya melalui anugerah Allah.[4][butuh klarifikasi] Tanpa anugerah Allah, perbuatan baik yang mereka lakukan tidak ada artinya.[4][meragukan] Allah sendiri yang bekerja dalam diri manusia.[4] Allah yang memberi kesadaran kepada manusia mengapa manusia harus berbuat baik dan tidak berbuat jahat.[4]

Pandangan Agustinus mengenai kehendak bebas dan anugerah ini dipengaruhi oleh pengalaman masa mudanya.[4] Pada masa mudanya ia telah melukai hati ibunya dan hidup bersama dengan seorang perempuan yang tidak pernah dinikahinya.[4] Ia merasa berkali-kali jatuh ke dalam dosa.[4] Ia baru merasakan bebas dari hal-hal yang jahat setelah ia menerima anugerah Allah melalui pertobatannya.[4]

Dua Kota Allah[sunting | sunting sumber]

Konsepsi kehendak bebas dan anugerah Allah ini menjadi dasar bagi etika sosial Agustinus.[5] Konsepsi ini diekspresikan dalam bentuk yang matang dalam karyanya The City of God (Kota Allah).[5] Karya ini ditulis sebagai sebuah apologet dari Agustinus karena orang-orang Kristen dianggap membawa kehancuran bagi Roma.[5] Dalam buku ini, ia mengkritik ketidakadilan dan kebejatan moral orang-orang Roma yang belum Kristen.[5] Menurutnya kecintaan terhadap materi hanya merupakan ilusi.[5]

Agustinus membedakan kota Allah dan kota dunia.[5] Kota Allah berdasarkan cinta kepada Allah dan berujung pada kekekalan.[5] Kota dunia berdasarkan kepada cinta diri serta barang-barang yang dapat hancur dan berujung pada kebinasaan.[5] Menurut Agustinus, cinta yang paling bawah adalah cinta yang diarahkan kepada barang-barang yang dapat hancur.[5] Tingkatan selanjutnya adalah cinta kepada diri sendiri dan sesamanya.[5] Tingkatan yang terluhur adalah cinta kepada Allah.[5] Dalam cinta sejati, yakni cinta yang diarahkan kepada Allah, manusia menemukan pedoman bagi tindakannya.[5] Itulah sebabnya, Agustinus berkata, "Dilige et quod vis fac" (cintailah dan lakukan apa saja yang kamu kehendaki).[5]

Damai dan Keadilan[sunting | sunting sumber]

Menurut Agustinus, kedamaian adalah tujuan universal seluruh umat manusia.[3] Bahkan secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kedamaian adalah tujuan dari perang, karena hakikat dasar dari kemenangan dalam perang adalah membawa manusia ke dalam kemuliaan dan kedamaian.[3] Namun, hal itu hanya merupakan bentuk pencarian kedamaian bagi diri sendiri atau kelompok tertentu saja.[3] Menurut Agustinus, yang merupakan norma moral bukanlah kedamaian seperti di atas, melainkan kedamaian yang dihubungkan dengan keadilan.[3] Kedamaian yang seperti ini hanya berasal dari Allah. Keadilan yang terdapat dalam diri manusia bersumber dari Allah.[3]

Namun, Agustinus bukanlah orang yang pasivis (anti perang).[3] Ia mengatakan bahwa perang diperbolehkan hanya sebagai jalan terakhir.[3] Perang diperbolehkan ketika bertahan terhadap serangan lawan dan melawan bidaah. Motivasi dalam berperang itu pun harus berlandaskan cinta kasih, belas kasih dan ketenangan.[3] Agustinus mengatakan bahwa perang boleh dilakukan atas otoritas seorang raja berdasarkan kepentingan rakyat.[3] Perang baginya merupakan suatu pengecualian dalam hal moral karena pembenaran dari perang tersebut hanya terdapat dari sang penyerang bukan dari yang diserang.[3]

Seksualitas Manusia[sunting | sunting sumber]

Pengajaran Agustinus tentang seksualitas dipengaruhi pengalaman hidupnya.[3] Menurut Agustinus, manusia perlu mengendalikan nafsu seksnya.[3] Agustinus sendiri telah merasakan bagaimana menahan nafsunya, saat ia memutuskan untuk bertobat.[3] Ia tidak mengatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang tidak bermoral.[3] Namun ia mengutuk hubungan seksual untuk tujuan apapun selain prokreasi. Ia menolak hubungan seksual di luar masa subur. Menuruti nafsu seksual dianggap sebagai pemberontakan terhadap Allah.[3]

Pandangan Agustinus terhadap Kekayaan[sunting | sunting sumber]

Menurut Agustinus, kekayaan bukanlah kejahatan.[3] Kekayaan juga merupakan ciptaan Allah yang baik adanya.[3] Namun, manusia -dengan kehendaknya- menyalahgunakan kekayaan tersebut.[3] Beberapa orang bahkan ada yang menyembah Allah hanya untuk mendapatkan kekayaan.[3] Padahal seharusnya kekayaan itu yang dipergunakan untuk memuliakan Allah.[3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Chedwick, Henry. Agustine. 1986. New York: Oxford University Press.
  2. ^ a b c d Gill,Robin. 1985. A Textbook Of Christian Ethics. Edinburg: T&T Clark Limited.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z Wogaman, J. Philip. 1994. Christian Ethics: A Historical Introduction. London: SPCK. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Wogaman" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ a b c d e f g h i j Forell, George Wolfgang. 1979. History Of Christian Ethics, Minneapolis. Augsburg Publishing.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m Tjahjadi, Simon Petrus L., 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta. Kanisius.

Topik berhubungan[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]